Bagi yang sering membaca kisah Seribu satu malam, pasti kalian sudah tak asing lagi dengan yang namanya Abu nawas, ya. Karena Abu Nawas memang salah satu tokoh yang sering sekali muncul dalam kisah seribu satu malam. Abu nawas
sendiri adalah salah satu tokoh yang terkenal dalam dunia humor Sufi,
ia banyak memberikan lawakan dan guyonan intelek tentang dunia agama,
kemanusiaan dan pemerintahan (terutama pemerintah persia atau Iran di
masa pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid).
Lalu siapakah Abu Nawas sebenarnya?. Nama asli Abu Nawas adalah
Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M )
di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah
Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam,
merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama
Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil
ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota
inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas
tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski
begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping
cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Abu Nawas belajar sastra Arab kepada
Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada
Ya’qub al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu
Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan
Azhar bin Sa’ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi,
telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan
Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian
membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas
digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah
inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis
puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena
kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu
berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas
digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam,
pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun
sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia
intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu
dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah
Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya’irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh
warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi
seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam
penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah
Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah
murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah
dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad
setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke
Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid
al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid
meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi
religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi
yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan
Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas
menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan
sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun
al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan
duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa
keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas
sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan
hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan
rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang
menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811
M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon
Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh
keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di
Syunizi di jantung Kota Baghdad.(faktabukanopini.blogspot.com)