Tentu kita sudah tak asing lagi dengan tayangan sinetron yang membanjir di stasiun-stasiun TV lokal, terutama lagi oleh cap tidak mendidik dan lebay yang sudah terlanjur melekat. Beberapa waktu lalu saya mencermati salah satu sinetron yang ada di salah satu stasiun TV swasta. Sinetron ini menggambarkan drama persahabatan remaja yang dibumbui dengan kisah cinta yang absurb. Pamerannya cantik-cantik dan ganteng-ganteng, seperti jebolan model. Saya sengaja meluangkan waktu untuk memperhatikannya dari awal sampai akhir walaupun di rumah saya juga berlangganan TV kabel.
Apa yang terjadi? Tentu Kompasianer sudah bisa menebaknya. Kehidupan remaja ibukota yang modern dan bergelimang harta, rebutan cewek dan persaingan tidak sehat dalam menarik perhatian cowok. Apakah memang seperti ini realitanya di kehidupan nyata? Jawabannya tentu tidak.
Saya punya 4 anak, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Si sulung sekarang sudah duduk di bangku 3 SMA. Nomor 2 kelas 1 SMA, nomor 3 kelas 3 SMP dan si bungsu kelas 6 SD. Usia remaja, bukan? Saya cermati kehidupan remaja mereka, bagaimana pergaulannya. Mereka normal, jadi mereka juga sudah mulai naksir lawan jenisnya (bahkan si bungsu hihi). 3 anak saya bahkan sudah punya pacar. Mereka juga hang out dengan teman-temannya, ingin tampil cantik dan menarik di depan teman-temannya, ingin punya banyak teman, ingin eksis juga di social network. Wajar, kan? Tapi, apakah mereka seperti yang digambarkan di televisi? Tidak. Okay, barangkali itu masih anak saya, bagaimana dengan keponakan-keponakan saya dan teman-teman anak saya? Mereka juga tidak seperti itu.
Di TV saya melihat anak-anak muda ini nongkrong sama teman-temannya sampai malam, kemudian mulai merokok, minum, dan berujung di free sex. Apakah separah ini kehidupan remaja-remaja kita? Saya termasuk orang tua yang memiliki pandangan liberal. Liberal di sini berarti saya punya pikiran yang terbuka, saya berusaha up to date terhadap kehidupan mereka, saya juga memberikan mereka kepercayaan penuh. Begini maksud saya, anak ke-2 saya yang perempuan izin mau pergi sama teman-temannya ke Mall abis itu lanjut ke Cafe, mungkin pulangnya malam. Jelas sebagai orang tua saya khawatir. Tapi saya mencoba untuk bijaksana. Saya izinkan dia untuk pergi dengan teman-temannya. Toh dia sudah dewasa, saya sudah membekalinya dengan yang baik-baik di rumah, dan saya sendiri juga yang mengenalkannya kepada dunia luar.
Anak saya itu juga saya lihat punya potensi yang bagus di bidang Modelling, karena ia suka tampil di depan publik. Kebetulan dia mengatakan ingin mengikuti sebuahagency Modelling. Apakah saya melarangnya? Tidak. Biarlah ia mencoba, mencari pengalaman. Toh kalo ia tidak nyaman tentu akan ditinggalkannya.
Saudara saya bilang, “Ngapain kamu anak diarahkan jadi model? Model kan banyak yang ga bener, banyak yang jadi cewek ga bener. Suka dipake Om-Om“. Hahahaha, saya cuma ketawa aja. Sejak anak saya kelas 1 SMP saya perkenalkan anak-anak saya, terutama yang perempuan, kepada pelajaran ‘wajib’ keluarga.
Saya ajak mereka nongkrong di Cafe, lalu saya suruh mereka memperhatikan cewek-cewek yang berlalu lalang. Berapa banyakkah yang cantik? Yang fashionable? Yang berada? Banyak sekali! Saya perkenalkan juga mereka kepada klinik kecantikanmodern. Maksud saya, saya ajak mereka ke sana sementara saya yang berkonsultasi hehe. Apakah maksud saya dari semua ini? Saya ingin mengajarkan mereka dan membuka mata mereka bahwa BANYAK SEKALI perempuan cantik di dunia ini dan tampil cantik itu mudah sekali. Tapi yang cerdas dan attitude-nya baik? Bisa dihitung dengan jari.
Dari situ mereka mulai berpikir bahwa mereka juga bisa bergaul ala remaja tapi tetap memperhatikan masa depan. Mereka jadi lebih panjang cara berpikirnya. Mereka jadi tidak mudah terombang-ambing oleh kenikmatan sesaat. Saya juga ajarkan kepada mereka bahwa kalian tidak perlu takut kepada Tuhan, tapi seganlah. Karena kalo yang namanya orang takut, sekarang takut tapi besok bisa nusuk dari belakang. Tapi kalo segan, jangankan untuk nusuk dari belakang, kepikiran untuk nusuk dari belakang aja tidak.
Saya ajarkan kepada mereka bagaimana makna kedamaian hidup. Sebagai seorang muslim, saya tidak pernah mengajak mereka untuk sholat tahajjud. Si sulung yang cowok itu, suka banget begadang main game sampai pagi. Dia melihat saya terbangun untuk sholat tahajjud, bermunajat langsung kepada Sang Pencipta. Mungkin berkali-kali dilihatnya saya begitu khusyuk dan tenang melantunkan asma Allah, menyebut keagungan-Nya. Dari situ timbullah rasa ingin tahunya. Setelah saya selesai sholat, dia bilang, “Mam, aku kok jadi pengen sholat juga ya? Aku wudhu dulu ya, Mam“. Alhamdulillah, Ya Allah. Kebetulan semua anak saya SD-nya SD Islam jadi mereka sudah tau tuntunan sholat wajib dan shunnah.
Kembali ke masalah sinetron. Saya kok jadi kasihan sama anak-anak yang orang tuanya masih berpikiran konservatif dan over protected. Menyaksikan sinetron seperti itu apakah tidak malah menambah kekhawatiran mereka terhadap pergaulan anaknya? Alhasil si anak akan merasa tertekan dan tidak bahagia. Pada akhirnya hal ini secara tidak langsung mendidik anak untuk berbohong kepada orang tuanya. KeMall sampai malam sama teman, bilangnya ada tugas kelompok di rumah teman. Hari gini, masih ada loh orang tua yang over protected soal HP. Mentang-mentang zaman sekarang teknologi udah canggih, akses pornografi pun menjadi mudah, dikit-dikit bawaannya curigaaa melulu sama anak. “Kamu buka bokep ya?“ “Pasti HP kamu isinya download-an bokep?” dan berbagai pertanyaan tak bijak lainnya baik yang masih nyangkut di hati maupun yang sudah terucap.
Saya mengajarkan kepada mereka bahwa sex adalah sesuatu yang sakral. Bagaimana dahsyatnya pengaruh sex terhadap kehidupan seseorang. Bagaimana sexyang dilakukan secara menyimpang akan mengubah 180 derajat kehidupan seseorang. Bagaimana pikiran seseorang yang tadinya bersih begitu mengenal sexdengan fantasi yang tak wajar akan menjadi kacau balau dan merusak mental si orang tsb. Alhamdulillah, sepertinya mereka bisa memahami dan mengerti.
Dengan kecanggihan teknologi seperti saat ini, bentuk kamera pun beraneka ragam. Tidak mustahil apabila mereka sampai melakukan hubungan sex atau foreplay yang menjurus ke situ kemudian direkam diam-diam oleh orang lain atau malah partner(pacar) mereka sendiri?
“Ah, ga mungkin, Mam, dia kan udah sayang banget sama aku, aku yakin” ,kata si nomor 2. Saya bilang, “Mami yakin dia sayang sama kamu tapi Mami gak yakin kalo dia gak akan menggunakan video itu untuk berfantasi. Mungkin tujuan awal mereka memang untuk sekadar berfantasi aja, tapi kalo namanya video udah di tangan orang, siapa jamin gak bakal nyebar? Kamu tau, kalo kamu having sex sama seseorang, berarti temen-temen orang itu pasti tau, lambat atau cepat. Kalo temen-temennya udah tau, berarti ini udah jadi rahasia umum kan? Dimana harga diri kamu?“
Saya berusaha membuka jalan pikiran mereka dengan cara seperti itu yang saya rasa lebih ‘ngena’ ke anak muda. Kalo alasannya cuma takut hamil, mungkin di otak mereka sudah muncul pembenaran-pembenaran lain yang menurut mereka singkat seperti, “ah bisa digugurin, banyak kok pilnya” atau “tinggal pakai kondom ini“. Ya, kan?
Rokok dan Alkohol. Hmm, ini masalah yang sensitif bagi sebagian orang. Sewaktu remaja saya pernah mencoba rokok tapi ternyata gak doyan tuh. Si sulung sudah kenal rokok dari SMP, dia pertama kali merokok sama teman-temannya. Suatu hari dia pernah ke-gap sama saya. Saya tanya sudah berapa lama kamu merokok, sudah keberapa kalinya ini. Dia takut-takut bilang, ini udah yang ketiga kalinya. Dia jelasin pertama kali sama siapa, di mana, bla bla bla. Kedua kali sama siapa, di mana, bla bla bla. Lalu saya rangkul dia, saya bilang, “Nak, setiap tindakan ada tanggung jawab yang menyertai. Mami Papi udah ajarin kalian tanggung jawab dari kecil. Kamu udah besar, udah tau bahaya dan akibat rokok. Pasti kamu udah sering baca, udah sering denger. Ga usah jauh-jauh, di bungkus rokoknya aja ada. Terserah kamu, pasti kamu udah tau mana yang terbaik buat kamu. Satu lagi nak, apapun itu, sebaik apapun itu, tetap ada dosisnya. Yang baik aja masih ada dosisnya, gimana yang jelas-jelas buruk? Sesuatu yang berlebihan itu ga baik, yang kurang juga ga baik. Sedang-sedang aja“. Dia emang ga pernah ke-gap lagi sama saya tapi saya tau dia masih merokok sesekali tapi dengan dosis yang wajar.
Si nomor 2 pun juga ternyata udah pernah nyoba rokok sama teman-temannya. Tapi sepertinya dia gak doyan tuh, sama seperti saya. Si sulung yang cerita sama saya, kemudian saya tanyakan langsung.
Saya juga mengajarkan mereka, “Drink alcohol because you like it, and your age & faith allows you too, not because you think it makes you look cool”. Sebagai seorang muslim kami tidak diperbolehkan mengonsumsi alkohol. Tapi saya rasa mungkin cara ini kurang ampuh ‘ngena’ di pikiran mereka yang masih labil itu. Sebagai remaja, biasanya sesuatu yang dilarang itu malah membuat penasaran. Saya ajak mereka nongkrong bareng dan saya suruh mereka pesan beer Bintang. Si sulung mukanya salting gitu, wah pasti nih anak udah pernah, batin saya. Si bungsu juga heran, bisa-bisanya saya malah nyuruh. Saya udah pernah nyoba sebelumnya dan rasanya gak enak menurut saya, kalo emang gak enak buat apa saya coba lagi? Entah menurut mereka. Si bungsu lagi-lagi gak doyan dan ah, betapa kagetnya saya, ternyata si sulung juga gak suka. Saya tanya ke si sulung, “Kamu gak pernah nyoba emang sebelumnya? Kalo Mami sih udah. Oh, mungkin anak SMP biasanya Mix-Max ya?” .Makin salting lah dia. Saya suruh dia pesan Mix-Max, dan dia akhirnya cerita kalo pas SMP dia udah pernah nyoba sama teman-temannya tapi gak enak. “Oh, mungkin kamu wine ya? Nanti Mami beliin di rumah” Hahahaha belum saya coba yang ini, tapi mungkin akan saya coba untuk menguji dia.
Jadi apa yang ingin saya tekankan di sini? Berilah kepercayaan kepada anak, kenalkanlah anak kepada dunia luar. Jangan sampai tanpa sadar kita terlalu menekan mereka untuk belajar dan mengekang mereka yang pada akhirnya akan membuat mereka kaget pada dunia luar. Ingat, suatu saat anak kita akan dewasa dan mengenal dunia luar. Jangan sampai mereka seperti anak ayam yang baru keluar dari kandang, kaget melihat sekitarnya yang pada akhirnya akan malah lebih berbahaya dan kemungkinan terjerumus akan semakin besar. Dan untuk para orang tua, agar jangan mau terjebak dengan sinteron-sinetron kita yang lebay. Ingat, Sinetron memang diangkat dari realita namun toh realitanya yang ada bertentangan dengan apa yang digambarkan di sinetron.
Nilailah manusia dari hatinya. Karena hati yang putih di antara hati-hati yang kotor akan tetap bersinar dan tidak akan pernah ternoda. Cerminan hati yang suci dan lapang adalah dari apa yang dipikirkan, apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan. Tidak mudah memang, tapi memang begitulah apa yang harus kita kerjakan agar tidak menjadi manusia yang merugi. Memberilah dengan ikhlas, dengan niat yang suci. Jangan karena A atau B atau yang lainnya. Tolonglah orang yang membutuhkan bantuanmu tanpa berpikir apakah orang itu akan membantumu kelak, karena ketahuilah, ada ratusan ribu orang lain yang tidak kau kenal yang mungkin akan membantumu.
Pada akhirnya, sebagai orang tua, kita harus tahu bahwa tampilan anak kita yang mungkin anteng-anteng saja belum tentu seperti itu di dalamnya. Kita tak tahu apa yang tengah bergejolak dalam hatinya dan pikirannya. Maaf, bukan bermaksud menjelek-jelekkan orang yang bernampilan muslimah (dengan kerudung), tapi janganlah kita gampang menilai orang lain dari kemasan luarnya saja.
“Ah, nyantai aja, teman-teman anak saya alim semua tuh, liat aja penampilannya” ,kalimat seperti ini sudah tidak relevan lagi sekarang. Banyak orang-orang bertopeng di luar sana yang bersembunyi di balik jilbab yang hanya dijadikan sebagai kedok saja (atau mungkin mereka belum mengimaninya 100%?). Berkerudung tetapi bajunya ketat, (maaf) payudaranya seakan-akan mau lompat, pacaran sambil peluk-pelukan bahkan cium-ciuman, dll.
Saya pribadi sangat menghargai teman-teman muslimah yang konsisten dengan jilbabsyar’i-nya, yang bisa menyesuaikan tutur kata dan perbuatan dengan penampilannya alimnya. Bila kita merasa belum siap, janganlah memaksakan diri untuk berkerudung bila nantinya hanya akan mencoreng citra islam saja. Benahi dulu apa yang ada di dalam, baru di luar. Begitu juga dengan anak-anak, bila kiranya mereka belum siap, jangan memaksakan mereka untuk berkerudung.
No comments :
Post a Comment