Profesor X dari Yogya dalam beberapa kali ceramahnya yang saya ikuti, menyalahkan Profesor Y yang dalam tausiahnya di televisi mengatakan; ”kalau saya sakit, saya akan pergi ke dokter, dan kalau belum sembuh saya akan ke dokter lagi, dan kalaulah belum sembuh juga saya akan berserah diri pada Allah atau bertawakal kepada Allah SWT”Menurut Profesor X, kalau bertawakal bukan seperti itu,
yaitu bertawakalah kepada Allah SWT nanti semuanya
diberikan jalan kemudahan oleh Allah SWT. “Coba
perhatikan doa ketika keluar rumah yaitu :
bismillahi tawakaltu ‘alallahi …..,
padahal ketika itu kita belum berusaha apa-apa” kata Profesor X________________________
Tanpa mempertentangkan pernyataan kedua Profesor tersebut; secara harfiah, “tawakal” (arab: tawakul) berarti bersandar atau mempercayai diri. Dalam agama, tawakal adalah sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah SWT. untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberinya rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangkanya, dan barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya” ( QS65, Ath Tholaq: 2-3)
Mewujudkan tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan bertawakal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah Ta’ala.
Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakal kepada Allah swt itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?”
Perkataan itu sungguh menunjukkan ketidaktahuan orang itu tentang hakikat tawakal. Dalam satu kisah disebutkan: dari Umar bin Khattab RA berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah SWT dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rizki (oleh Allah SWT), sebagaimana seekor burung diberi rizki; dimana ia pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang ” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).
Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakal kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tempat bergantung
Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakal kepada Allah swt dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut”.
Jadi sangat keliru jika ada orang mengatakan “Aku tidak mau bekerja, kalau memang rizkiku tentu tidak akan kemana” Mereka menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali.
Umar bin Khattab RA pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di masjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Umar berkata, Janganlah salah seorang kamu duduk di masjid dan berdo’a: “Ya Allah berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud perkataaan Umar ini adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya bedo’a saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.
Tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah SWT semata, namun juga disertai dengan melakukan usaha. Para sahabat yang menjadi tokoh-tokoh teladan kita juga berdagang dan bekerja dengan mengelola pohon kurmanya
Diantara yang menunjukkan bahwa tawakal kepada Allah SWT tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah sebuah hadits yang mengisahkan tentang seseorang berkata kepada Rasulullah SAW, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal?” Rasulullah bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakallah kepada Allah.”
Dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan bahwa Amr bin Umayah RA, berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rosulullah!! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku bertawakal kepada Allah, ataukah aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakal?’,Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu bertawakallah kepada Allah.”
Tawakal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah SWT, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata
Berkaitan dengan penyakit dan pengobatan, para ulama berbeda pendapat, manakah yang lebih utama baginya, apakah dia hanya bertawakal saja kepada Allah SWT secara totalitas (tanpa berobat), ataukah dia berobat ke ahli medis/dokter?.
Ada dua pendapat yang dominan dalam masalah ini
1. Tidak perlu berobat;
Menurut pendapat ini, bagi mereka yang mampu untuk bertawakal saja, maka itu adalah lebih utama, hal ini didasarkan pada:
- Sabda Nabi kita Muhammad SAW, “Ada 70 ribu orang dari ummatku ini yang akan masuk surga tanpa dihisab. Lalu beliau berkata lagi: mereka adalah orang-orang yang tidak percaya masalah “tathayyur” (kesialan), tidak minta diruqyah, tidak melakukan pengobatan dengan “key” (berobat dengan besi panas yang ditempelkan ke tubuh), dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka”. (HR. Muttafaqun ‘Alaihi)
- Jika seseorang itu meninggalkan pengobatan karena kuatnya keimanan dan tawakalnya kepada Allah SWT, bahwa Dia adalah Zat yang mendatangkan manfaat dan mudarat dan Dia berkuasa atas segala sesuatu, maka sikap yang demikian “tidaklah terlarang”. Dia tidak boleh dipaksa untuk berobat. Tidak sedikit dari kalangan ulama salaf bertutur, “Rukhshah (dispensasi/keringanan) untuk tidak berikhtiar sama sekali hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang hatinya benar-benar sudah terputus dari makhluk
- Abu Bakar As-Shiddiq RA, tatkala terkena suatu penyakit, ditanyakan kepadanya, “Mengapa engkau tidak pergi berobat ke dokter?”. Dia menjawab: “Dokter (yang beliau maksud adalah Allah) sudah melihat keadaanku” . Para shahabatnya bertanya, “Apa yang dikatakan oleh Dokter itu kepadamu?”. Ia menjawab, “Sesungguhnya Aku (Allah) Maha Berbuat apa yang Aku kehendaki.”
2. Perlu berobat
Sementara pendapat para ulama yang mengatakan: bahwa seseorang yang sakit itu harus berobat, didasarkan kepada :
- Perbuatan Rosulullah SAW yang senantiasa berobat tatkala sakit
- Sedangkan tentang hadits tentang 70 ribu masuk surga tanpa dihisap, mereka pahami; bahwa ruqyah yang dimaksud dalam hadits “mereka tidak minta diruqyah” adalah ruqyah yang makruh, yaitu ruqyah yang mendekati kesyirikan. Alasannya menurut mereka: bahwa ruqyah yang disebutkan dalam hadits di atas disebutkan secara bersamaan dengan tathayyur dan key, yang kedua-duanya adalah dimakruhkan (dilarang karena tidak disukai).
- Ketika Ishak Bin Rahawaih rahimahullah ditanya: “Bolehkah seseorang masuk ke medan pertempuran tanpa bekal?”; Beliau menjawab, “Jika orang itu sekaliber Abdullah Bin Jubeir maka diperbolehkan. Jika tidak maka jangan sekali-kali melakukannya!”
Oleh karena itu, wajib bagi kita berwasiat kepada diri kita dan kepada orang-orang yang sedang sakit agar bertawakal kepada Allah SWT dan menggantungkan hati kita kepadaNya, disamping kita terus berikhtiar. Sehingga kita akan mendapatkan kesehatan, keselamatan, dan balasan pahala di dunia dan di akhirat. Amin. [sumber]
No comments :
Post a Comment