Brilio.net - Kecintaan terhadap bahari memang sudah ada di dalam jiwa Fazham Fadlil (65) sejak kecil. Pria yang selama 20 tahun hidup di Amerika Serikat tersebut memutuskan untuk pulang kampung ke Indonesia dengan mengarungi lautan menggunakan kapalnya. Lalu bagaimana ceritanya?
Fazham Fadlil atau yang akrab disapa dengan Sam, lahir di kepulauan Buluh, Riau. Sejak kecil dia memang sudah familiar dengan kehidupan laut. Ketika beranjak dewasa dia pun bekerja pada sebuah perusahaan raksasa kapal pesiar bergengsi milik Holland America Cruise. Pekerjaannya membawa pada sebuah perjalanan panjang pada banyak negeri orang. Sampai akhirnya bersandar di pelabuhan Kota New York, Amerika Serikat masa tahun 1970an.
Fazham Fadlil atau yang akrab disapa dengan Sam, lahir di kepulauan Buluh, Riau. Sejak kecil dia memang sudah familiar dengan kehidupan laut. Ketika beranjak dewasa dia pun bekerja pada sebuah perusahaan raksasa kapal pesiar bergengsi milik Holland America Cruise. Pekerjaannya membawa pada sebuah perjalanan panjang pada banyak negeri orang. Sampai akhirnya bersandar di pelabuhan Kota New York, Amerika Serikat masa tahun 1970an.
Fazham Fadlil saat berlayar dari New York ke Indonesia pada 1992.
"Sejak saat itu saya menetap di Brooklyn, salah satu kawasan di New York," ujar Sam kepada brilio.net, beberapa waktu lalu.
Di sana dia bekerja banting tulang dari pencuci piring kotor restoran, penjaja makanan di atas kereta hingga pengantar makanan siap saji. Malamnya dia manfaatkan untuk membaca buku di perpustakaan kota dan kursus seni. Hingga pada akhirnya dia mendapat pekerjaan tetap di sebuah studio seni grafis sebagai seorang kaligrafer.
Seperti yang telah diceritakannya dalam buku Mengejar Pelangi di Balik Gelombang, saat itu penghasilan Sam sudah cukup banyak, naluri berlayarnya pun muncul lagi. Dia berhasil membeli sebuah kapal layar di daerah Maryland, tepatnya di teluk Cheseapeake. Kapal tersebut dia beri nama Stray yang artinya bintang jalanan. Keinginan untuk pulang ke Indonesia dengan kapal tersebut pun kian hari kian menggebu.
Pada akhirnya ketika Desember 1992, setelah persiapan panjang dia memulai pelayarannya dari New York ke Indonesia. Hari pertama dan beberapa hari setelahnya, Sam lalui ditemani cuaca dan gelombang yang tidak menentu, hingga sampai ke malam ketujuhnya dilaut. Sam merasa gelombang kencang tak lagi dapat membuat dirinya bertahan.
Pada akhirnya ketika Desember 1992, setelah persiapan panjang dia memulai pelayarannya dari New York ke Indonesia. Hari pertama dan beberapa hari setelahnya, Sam lalui ditemani cuaca dan gelombang yang tidak menentu, hingga sampai ke malam ketujuhnya dilaut. Sam merasa gelombang kencang tak lagi dapat membuat dirinya bertahan.
Suasana perjalanan.
Bergelut dengan gelombang dan angin.
"Akhirnya waktu itu saya memilih kembali ke New York karena takut tidak kuat bertahan," ujarnya lagi
Enam bulan kemudian dia mencobanya lagi, kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Dalam pelayarannya dia harus melewati Samudera Atlantik, Laut Karibia, Terusan Panama, kemudian harus menyeberangi lautan luas di seluruh dunia yaitu Samudera Pasifik. Lantas setelah keluar dari Samudera Pasifik, Sam harus melewati Selat Tores sebelum memasuki laut Arafuru.
Hari pertama adalah penyesuaian dengan gelombang ombak. Sam pun melakukan kegiatan rutinnya Saat berlayar dan membuat jadwal sendiri yang akan dilaksanakannya. Rintangan pertama, Gulf Stream dan Sam harus melewatinya dalam rute perjalanannya dari New York ke Panama. Setelahnya Sam harus berlayar melewati Segitiga Bermuda yang terkenal dengan legenda mistisnya. Di perairan ini dia harus berjibaku dengan badai dan peralatan navigasi mengalami kerusakan.
Baginya kerusakan biasa terjadi sebab jarang sekali pelaut yang menempuh perjalanan jauh akan baik-baik saja, pasti akan nada hambatannya. Halangan tak berhenti di sini saja, GPS kapalnya pun mengalami kerusakan. Untungnya Sam cepat mengambil langkah untuk mengatatasinya, Sam memanfaatkan matahari, bulan dan bintang untuk menentukan lokasi.
"Tiap hari bacaan saya hanyalah buku-buku doa dan merapal ayat-ayat alquran," kenangnya
Keadaan menjadi bertambah buruk saat mesin yang dipakainya juga ngadat seperti GPSnya. Sam pun terapung-apung di tengah lautan. Sambil menunggu angin yang bisa membawanya berlayar kembali, dia banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.
Angin pun lalu berhembus tanpa terduga, saatnya Sam melanjutkan pelayarannya menuju Panama melalui Mona Passage. Sesampainya di Panama, perahu layarnya diperbaiki. Mesin perahunya harus dibongkar total dan beberapa onderdilnya harus diganti. Apesnya lagi, ongkos perjalanan yang dia miliki semakin menepis. Namun lagi-lagi, dewi fortuna berpihak kepada Sam, dengan bantuan teman-teman yang dia temui selama perjalanan ini, biaya pun akhirnya dapat terkumpul. Samudera Pasifik yang maha luas pun sudah siap dilayarinya kemudian.
Baginya kerusakan biasa terjadi sebab jarang sekali pelaut yang menempuh perjalanan jauh akan baik-baik saja, pasti akan nada hambatannya. Halangan tak berhenti di sini saja, GPS kapalnya pun mengalami kerusakan. Untungnya Sam cepat mengambil langkah untuk mengatatasinya, Sam memanfaatkan matahari, bulan dan bintang untuk menentukan lokasi.
"Tiap hari bacaan saya hanyalah buku-buku doa dan merapal ayat-ayat alquran," kenangnya
Keadaan menjadi bertambah buruk saat mesin yang dipakainya juga ngadat seperti GPSnya. Sam pun terapung-apung di tengah lautan. Sambil menunggu angin yang bisa membawanya berlayar kembali, dia banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.
Angin pun lalu berhembus tanpa terduga, saatnya Sam melanjutkan pelayarannya menuju Panama melalui Mona Passage. Sesampainya di Panama, perahu layarnya diperbaiki. Mesin perahunya harus dibongkar total dan beberapa onderdilnya harus diganti. Apesnya lagi, ongkos perjalanan yang dia miliki semakin menepis. Namun lagi-lagi, dewi fortuna berpihak kepada Sam, dengan bantuan teman-teman yang dia temui selama perjalanan ini, biaya pun akhirnya dapat terkumpul. Samudera Pasifik yang maha luas pun sudah siap dilayarinya kemudian.
Bergelut dengan maut.
Dari Panama, Sam berlayar ke selatan dan terus bergerak menuju kawasan perairan Indonesia melalui selat Torres dan singgah selama tiga hari di Papua Nugini. Walaupun banyak menguras tenaga, pelayaran melalui Selat Torres berlangsung lancar dan Sam pun akhirnya sampai ke laut Arafuru, Indonesia. Dari sana pulau Bali akan menjadi tempat berlabuhnya sementara dan pelabuhan Tanjung Priok menjadi tempat berlabuhnya yang terakhir.
"Sampai di Bali saya tidak punya uang rupiah sepeser pun, hanya tinggal uang USD 5 saja. Begitu mendarat yang saya lakukan pertama adalah menelepon ibu," katanya lagi.
Pelayaran Sam tersebut menghabiskan waktu selama lima bulan dengan jarak tempuh mencapai 15.000 mil. Hebat! [sumber]
CBO855
ReplyDelete