JAKARTA, KOMPAS.com — Masihkah Anda ingat batu ajaib milik bocah bernama Ponari? Batu yang konon katanya mampu menyembuhkan segala macam penyakit hanya dengan dicelup ke dalam air yang kemudian diminum. Meski tidak teruji secara fakta, kisah ajaib batu Ponari tersebar luas dalam waktu singkat dan menjadi daya tarik masyarakat yang mengharapkan kesembuhan dalam waktu singkat.
Secara naluri, masyarakat akan melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan kesembuhan, termasuk menjalani pengobatan yang menjanjikan kesembuhan dalam waktu singkat. Salah satu yang mungkin menjadi pilihan adalah Traditional Chinese Medicine (TCM). Klinik pengobatan tradisional China ini sekarang menjadi sorotan publik karena iklannya yang dinilai menyesatkan konsumen.
Beberapa TCM mengiklankan layanannya secara berulang di televisi lokal dan nasional dengan bumbu testimoni pasien. Kesaksian pasien yang belum tentu kebenarannya ini jelas membangkitkan harapan masyarakat yang mencari kesembuhan.
Menurut Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron Mukti, seluruh layanan kesehatan baik pengobatan medis modern maupun tradisional seyogianya tidak memberikan harapan yang berlebihan. Ia meminta semua layanan kesehatan tidak melakukan klaim di luar kondisi riil yang dapat diberikan karena tentu saja hal itu akan merugikan masyarakat.
"Jangan sampai fenomena klinik TCM ini mengulang kisah batu ajaib Ponari," ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian Kesehatan, Selasa (14/8/2012).
Kemenkes, lanjut Ali, kini tengah mengupayakan strategi paling tepat menangani klinik TCM dengan membentuk tim pengkaji. "Bagaimana baiknya belum bisa karena masih dalam proses. Satu hingga dua minggu ke depan hasilnya akan keluar," ujarnya.
Seperti diwartakan, testimoni dalam sejumlah iklan TCM dinilai menyesatkan dan membuat "gerah" sejumlah kalangan, terutama tenaga medis profesional. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai lembaga profesi yang mewakili para dokter menegaskan bahwa testimoni pasien itu perlu ditelusuri dan dibuktikan guna menjawab pertanyaan apakah kesaksian tersebut berasal dari pengalaman pasien atau hanya rekayasa demi kepentingan tertentu.
"Kami tidak menuduh testimoni itu bohong, tapi memang perlu pembuktian," kata Sekretaris Jenderal IDI Slamet Budiarto saat ditemui di kantornya, akhir pekan lalu.
Pembuktian testimoni tersebut sekaligus sebagai jawaban apakah iklan pengobatan yang disampaikan merupakan upaya pembohongan terhadap publik atau tidak. Mereka yang terbukti memberikan testimoni palsu bisa dianggap melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Di dalam UU Perlindungan Konsumen, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Konsumen juga mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan. Jika ini tidak terpenuhi, maka konsumen mendapatkan hak tuntutan ganti rugi, denda maksimal Rp 2 miliar, sampai pidana kurungan 5 tahun. [sumber]
No comments:
Post a Comment