Pailul ngendon di pos polisi. Motornya diparkir sekenanya di samping markas kecil bersanding dengan motor gede milik pak polisi. Wajahnya agak ditekuk ke dalam, terlihat marah tapi tak ada nyali mengungkapkan. Kepada siapa dia melampiaskan marah? Pada Pak Polisi yang menilangnya? Jelas tak mungkin, sebab dia kalah: kalah dalam banyak hal. Lebih baik menurut dengan kehendak manusia berseragam, itu lebih baik daripada ngeyel. Sengeyel-ngeyelnya Pailul toh dia masih kalah, sebab ngeyelnya tak pernah terlatih di bangku pendidikan.
Setelah berdiskusi, wajah merahnya kini padam. Dilihat dompet kumalnya: tinggal lima puluh ribu. Pas untuk menebus kesalahannya: tidak punya SIM. Meski seharusnya dia membayar lebihgede dari denda itu, tapi atas kebaikan Pak Polisi, Pailul hanya di suruh ganti sepunyanya uang di dompet. Ya, sudahlah kerja keras hari ini kenyataannya harus ditukar dengan kesalahan.
Meski demikian, aroma nafasnya masih menyisakan bebauan kemarahan dan kekesalan. Kesal ditilang. Kesal tidak mempunyai SIM. Marah karena harus kehilangan uang yang seharusnya dibelikan jatah hidup buyungnya.
“Salah siapa gak punya SIM? Suruh siapa nafsu berkendara? Toh jalan ini bukan milik nenek moyangmu. Setiap tikungan ada aturannya!” mungkin begitu kata-kata yang bakalan terlontar dari mulut Pak Polisi.
Salah siapa. Pertanyaan yang mungkin tidak cukup hanya dengan mengarahkan jari telunjuk ke dada atau ke muka Pak Polisi. Alangkah enaknya kalau pertanyanya itu diubah menjadi mengapa orang suka malas mengurus SIM? Jika orang bisa berkendara dan berhasrat berkendara di jalan raya bukankah SIM menjadi bagian integral dari bersepada? Layaknya bahan bakar dengan kendaraan! Kemungkinan, antara yang memiliki SIM dengan dengan yang tidak, persentasenya jauh lebih banyak yang tidak memiliki SIM.
Kepolisian sepertinya perlu membuat survey kecil-kecilan untuk melacak kenapa sihmasyarakat kita begitu enggan untuk memperoleh SIM? Bukankah SIM itu bukan barang berbisa jika disentuh? Bukankah SIM itu kelengkapan berkendara seperti halnya helm dan spion?
“Ah, masih perlu helm Mas dibandingkan SIM!”
“Alasannya?”
“Ya, jika berkendara tidak memakai helm, kalau jatuh bisa benjut kepalanya. Sedangkan SIM tidak mempengaruhi bejutnya kepala. Bawa SIM atau tidak, jika jatuh juga merasakan sakit. SIM bukan jimat yang bisa mengebalkan kulit!”
“Tapi tanpa SIM, kamu juga bisa bonyok, meski bukan fisiknya ‘kan? Uang yang seharusnya aman di dompet harus pindah kantong! Bukankah SIM sama mengebalkannya. Mengebalkan ketakutan dari baju seragam polisi, dari patung polisi yang berdiri mengangkang di tepi jalan. Bukankah kita sering gelagapan jika melihat patung polisi karena tak membawa SIM. Meski itu patung polisi. Meski kendaraan itu sah secara kepemilikannya. Sepertinya SIM lebih penting dibanding helm. Seakan nyawa kedua setelah nyawa aslimu.”
Gara-gara SIM, pengendara akan merasakan nikmat dan tidaknya berkendara. Meskipun ini juga bergantung dengan keberanian seseorang untuk tidak ber-SIM. Namun, kebanyakan pengendara sangat was-was jika di dompetnya tidak ada SIM. Apalagi, jika ada operasi di jalan raya, bisa-bisa sipat kuping bersembunyi dari sapuan mata polisi.
Ada-ada saja usaha berkendara menghindari operasi. Ada yang mampir ke toko, meski tidak membeli. ada yang ke bengkel, meski motornya tidak rusak. Ada yang mampir ke warung makan meski tidak lapar dan akhirnya melaparkan diri. Ada juga yang blusukan ke gang-gang. Tapi semua trik pengendara sudah diketahui oleh polisi. Yang di warung, di bengkel, di toko didatangi polis. Jika sudah begini entah yang tadi berniat ke warung asli, ke bengkel asli, ke toko asli juga kena getahnya. Jalan kecil dijaga oleh polisi, jalan untuk kabur ditutup. Semua pengendara digiring ke satu lokasi: lokasi pengecekan.
Apakah SIM menjadi tanda kesopanan dan budaya patuh pengendara? bisa ya, bisa juga tidak. Jawaban ya, jika ditilik dari hukum berlalu lintas. Tata cara formal di ranah aturan. Tidaknya, bila kita melihat ke jalan raya. Pada sikap bagiamana pengendara mengendalikan kendaraan di jalanan. Apakah Anda bisa membedakan dengan mata telanjang jika yang pelan-pelan, sopan mematuhi lalu lintas itu sudah tentu mengantongi SIM? Apakah yang jelalatan alias ugal-ugalan berkendara itu tidak mempunyai SIM. Bisa saja lho yang pelan-pelan itu pengendara yang tidak ber-SIM. Dia harus hati-hati jangan sampai ceroboh berkendara. Jangan sampai kecerobahannya harus berhadapan dengan polisi apalagi tidak memiliki SIM. Dan, yang ugal-ugalan pun bisa juga ber-SIM, sebab sedikit merasa aman dengan SIM-nya.
Memang SIM tidak menjamin pengendara menjadi sopan dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas, meski dalam tes memiliki SIM ada anggah-ungguh berkendara, tetapi itu ‘kan hanya di depan simulator. Simulator itu alat untuk memanipulasi, menjadikan seolah-olah asli. Jadi kalau kesopanan itu terjadi, ya kesopanan kepura-puraan saja. Sekali lagi, SIM belum bisa menjamin penurunan angka kecelakaam di jalan raya. Pasalnya, SIM itu surat izin, surat permisi alias kulo nuwunpengendara di jalan raya.
Pertanyaan mengapa pengendara malas memiliki SIM? Ini pertanyaan penting dari sekedar pertanyaan apa, bagaimana, pasalnya pertnyaan mengapa lebih mengakar untuk mengungkap budaya sekaligus perilaku pengendara dan pihak yang mengurusi SIM. Sebab mengapa nanti juga merembet ke pertanyaan apa, bagaimana, siapa dan lain sebagainya.
Jika seseorang malas mengurus SIM bisa saja orang tersebut tidak punya uang untuk mengurusnya. Sebab mengurus SIM juga tidak semurah mengurus KTP. Jadi ini motifnya ekonomi. Jika motif ekonomi, berarti kesejahteraan belum merata di Tanah Air. Kewajiban pemerintah untuk meningkatkan perekonomian rakyat, tidak hanya menggalakkan berdirinya pabrik-pabrik dan impor otomotif saja. Jika kepemilikan motor begitu mudah dengan kredit dan jaminan penghasilan seharusnya kepemilikan SIM juga bisa dikredit atau malah bisa digratiskan. Syaratnya cuma punya motor, bisa menyetir, tahu arah kiri-kanan, depan-belakang, tahu mana rem-mana gas, dan sayang pada diri dan orang lain yang berkendara.
“Saya taku ngurusnya, Mas!”. Ini jawaban yang menggelikan sekaligus menjadi tanda tanya besar.
“Mengapa takut ngurus SIM?”
“Ya, rasanya bagaimana gitu jika harus mendatangi kantor polisi. Saya lihat seragam polisi saja kadang perasaannya gimana gitu!”
“Apakah Anda takut pada polisi?”
“Takut sih enggak tapi rasanya gimana gitu…”
“Maksudnya?”
“Ah, sulit dijelaskan Mas. Ini soal pengalaman dan cerita yang dibangun selama ini tentang citra polisi!”
“Polisi itu juga manusia lho. Bahkan polisi lalu lintas itu bagaikan teman kita di jalan raya. Coba saja lihat, jika jalanan macet Polantas-lah yang paling dahulu mengaturnya. Polantas itu sangat iklhas untuk menghirup CO (karbon monoksida) dari buangan knalpot motor. Belum lagi kalau malam atau hujan. Polantas itu tugasnya bukan menakut-nakuti dan menilang kendaraan saja. Polantas itu ya tuan rumahnya jalan raya”
“Iya, tapi saya tetap takut!”
Alasan takut merupakan alasan komplek bagi kepolisian dan masyarakat. Kenapa kok polisi sampai ditakuti, bukankah polisi mitra masyarakat? Mitra itu sahabat alias soulmate bahasa kerennya. Pasti ketakutan itu merupakan kerak-kerak sejarah yang tak habis terkikis dengan kenyataan masa kini polisi.
Lantas, apakah untuk mengurangi rasa takut tersebut polisi harus berganti nama? Merubah seragam kebesarannya? Atau mengurus SIM-nya jangan di kantor polisi tetapi di mall, warung makan, angkringan atau di mana saja yang sekiranya bisa mereduksi ketakutan?
Ah, ada-ada saja! [sumber]
No comments:
Post a Comment