Dari sebuah thread diskusi di milis CahAndong,
muncul pertanyaan tentang kebenaran kedua tokoh ini. Apakah Nashrudin
Hoja dan Abu Nawas ini beneran ada, atau cuma fiktif belaka?
Kita semua tahu kalo kedua tokoh ini seringkali nongol dalam cerita-cerita sufisme, cerita mengenai kebijaksanaan yang dibalut dengan bumbu kelucuan dan kekonyolan. Namun, siapa yang tau tentang sejarah dan kisah hidup mereka?
Saya pun menyadur dan menyunting penjelasan dari Zen RS yang dipaparkan di dalam thread tersebut, sekedar menyelamatkan potongan sejarah di belantara teks dan biarkan mesin pencari yang menemukan artikel ini. :)
Ada banyak versi tentang asal kelahiran Nashrudin. Tapi semua versi rata-rata memang mengiyakan kalau ia hidup di abad ke-13. Sumber tertua tentang kehidupan Nashrudin ini termuat dalam buku terbitan tahun 1480 yang berjudul Saltukname.
Dalam buku itu disebutkan kalau Nashrudin di Sivrihisar, salah satu kawasan di Turki, pada 1208. Dari situ ia berkelana ke banyak tempat sampai akhirnya ia wafat pada 1284. Ada yang menyebutkan ia wafat di Konya, kota penting dalam tradisi sufisme dan mistisme Islam, karena di sanalah Jalaluddin Rumi membangun dan mendirikan tarikat Maulawiyah, yang terkenal dengan tarian sama’-nya yang berputar-putar (dengan kedua tangan merentang ke samping, satu telapak tangan menghadap ke atas, satu telapak tengan menghadap ke bawah).
Hoja yang ada di belakang nama Nashrudin sendiri kurang lebih berarti teacher atau scholar.
Sedemikian populernya karakter Nashrudin, sampai-sampai di Turki pada setiap bulan Juli digelar “International Nashrudin Hoja Festival”. Pada 1996-1997, UNESCO pernah mendeklarasikan tahun itu sebagai “International Nasruddin Year”.
Kisah-kisah Nashrudin yang kita baca dan kita dengar kemungkinan diambil dari kompilasi kisah-kisah yang dikumpulkan penulis Afghanistan, Idris Shah, yang sempat menerbitkan tiga volume buku tentang kisah-kisahnya.
Paulo Coelho, dari wawancaranya di New York Book Review beberapa tahun lalu, menyebut Nashrudin sebagai “Si Bijak dari Timur”.
Bagi kalangan Islam, terutama mereka yang aktif sebagai penghayat sufisme dalam pelbagai tarekat, kisah-kisah Nashrudin sering digunakan sebagai alegori dalam pengajaran-pengajaran sufisme. Salah satu ciri dari pengajaran sufisme memang terletak pada –selain menekankan pada laku alias praktik– penyampaian-penyampaian nilai-nilai agama melalui kisah, anekdot, alegori, fabel dan yang sejenisnya, ketimbang menggunakan teori-teori Al-Falasifa yang dikembangkan para failasuf.
Yang mengherankan, kenapa Abu Nawas dikesankan sebagai seorang yang cenderung konyol, orang bijak yang senang bermain-main atau memain-mainkan nasehat, atau guru sufi yang “sangat saleh” atau yang sejenisnya. Lebih dari sekadar itu, ia adalah seorang pemberontak pada masanya, mungkin seperti Marquis de Sade pada era Napoleon yang bengalnya ga ketulungan (kata “sado” –yang berarti “sadis”– dalam frase sado-masokis diambil dari namanya).
Abu Nawas memang bisa ditemukan dalam salah satu versi cerita “1001 Malam”. Perlu diingat, kisah 1001 Malam itu ditulis tidak sekali jadi, bahkan plot awalnya dipercaya sudah muncul sejak masa pra-Islam. Selanjutnya, kisah itu berkembang sedemikian rupa, di banyak wilayah, dengan melibatkan banyak penulis dan pujangga, dengan versi yang juga beragam. Nah, Abu Nawas masuk dalam salah satu versi itu.
Tapi menganggap Abu Nawas sebagai tokoh fiksi jelas juga keliru. Abu Nawas adalah sosok historis, benar-benar ada, pernah hidup. Ia diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-8, antara tahun 740 sampai 760-an, kira-kira seabad setelah wafatnya Muhammad SAW.
Ayahnya anggota tentara Marwan II, angkatan perang terakhir Umayah, berdarah Arab, sementara ibunya berasal dari Persia. Arab dan Persia merupakan dua kebudayaan besar yang punya tradisi susastra yang kuat dan panjang, sehingga –tidak bisa tidak– Tuhan pun harus menurunkan Al Qur’an dengan capaian nilai sastra yang adiluhung, sebab jika tidak, Al Qur’an akan dengan mudah dilecehkan sebagai tak lebih dari syair picisan.
Dalam situasi itulah Abu Nawas tumbuh dengan minat yang besar dalam bidang bahasa dan sastra. Ketika menetap di Baghdad, ia sudah matang sebagai penyair dan cendekiawan. Kisah-kisah di mana Abu Nawas yang sering berdialog atau ngerjain sultan, kemungkinan terjad di Baghdad ini, karena ia dipercaya memang akrab dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, atau bahkan dianggap sebagai penyair kesayangan Khalifah.
Sutardji Calzoum Bachri yang dulu demen mabok pas baca puisi, bisa dibilang ndak ada apa-apanya dibandingkan dengan Abu Nawas. Abu Nawas dikenal sebagai penyair yang senang mabok, pesta-pora dengan anggur dan khamr.
Salah satu kisah legendaris menyebut Abu Nawas pernah kedapatan tepar di jalan raya tepat saat Khalifah lewat bersama salah satu istrinya. Ini membuat Khalifah malu bukan kepalang karena penyair kesayangannya bertingkah gila-gilaan macam itu. Biar bagaimana pun, pada saat itu, juga hingga sekarang, khamr memang dilarang dalam standar kode hukum Islam.
Nah, di situ lah salah satu lapis kehidupan Abu Nawas yang tak banyak diketahui orang. Kehidupan Abu Nawas dan puisi-puisinya penuh dengan perayaan hidup yang untuk masanya bisa dianggap hedonis. Ia senang mabuk-mabukan. Bukan hanya itu, ia juga salah seorang yang dianggap menganjurkan perayaan seksual, termasuk hubungan sejenis kelamin.
Ada banyak riwayat yang mengisahkan kisah cinta Abu Nawas dengan beberapa anak lelaki. Semua itu banyak ditemukan dalam puisi-puisinya. Dalam buku puisi Perfumed Garden karangannya, mudah sekali ditemukan nuansa-nuansa yang menggambarkan hubungan seksual, termasuk hubungan sejenis.
Dari esai Javad Nurbhaks di jurnal Kalam, mungkin Abu Nawas adalah penyair Arab pertama yang sudah menyebut masturbasi dalam puisi-puisinya. Tapi ini pasti satu tradisi yang sudah panjang, karena bahkan Yesus dari Nazareth pun minum anggur pada saat perjamuan terakhir dan anggur (bukan tradisi penyimpangan seksualnya) juga menjadi salah satu komponen penting dalam sejumlah ritual ibadah umat Nasrani.
Tidak mengherankan, saat rezim berganti, ia pun akhirnya mengalami pengasingan. Bukan hanya Khalifah yang baru tidak senang padanya, tapi saudaranya juga ada yang jengah dengan keliaran hidup seorang Abu Nawas.
Khamr dan hubungan intim sejenis sebenarnya bukan tema yang asing. Sudah biasa dalam tradisi sufi, anggur menjadi bagian tak terpisahkan. Anggur dianggap sebagai alegori dari kenikmatan penyatuan dengan yang serba surgawi. Jalaluddin Rumi itu senang sekali dengan anggur. Anggur bertaburan dalam puisi panjangnya yang dahsyat dan terkenal itu, Al-Mastnawi
Sudah sangat biasa pula para sufi luntang-lantung dengan murid-murid laki-lakinya. Rumi lagi-lagi jadi kisah paling ilustratif tentang ini. Hubungannya dengan tiga guru utamanya, terutama guru pertamanya yaitu Syams dari Tabriz, sangatlah intim. Sampai-sampai, saat Syams menghilang dari Konya, Rumi benar-benar patah hati, kerjaannya cuma nyanyi-nyanyi dan menari-nari di jalanan Konya. Ia ndak mau ngajar murid-muridnya yang lain. Saat Syams kembali, pulihlah normalistas kehidupan Rumi. Saat Rumi sedang mengerjakan karya agung Al-Matsnawi, Rumi saat itu sudah ditinggal Syams kembali berkelana dan “berguru” pada Hisyamuddin. Saat Hisaymuddin kembali ke kampungnya selama beberapa waktu, Rumi tiba-tiba jadi stuck dan ndak bisa menulis Al-Mastnawi lagi.
** Ini hanya seperti mengulang kisah Musa dan Harun yang –dalam sirah Islam– dianggap selalu runtang-runtung bareng atawa kisah Ashabul Kahfi tentang para pemuda saleh yang kompak dan runtuang-runtung bareng sampai-sampai juga kompak melarikan diri ke dalam gua utk menghindari penguasa lalim, lalu ditidurkan oleh Tuhan selama hampir satu abad. Kira-kira seperti hubungan antara Socrates dan Plato. Hihihihi…
Salah satu penyair Arab yang terpengaruhi oleh Abu Nawas adalah Omar Khayam, yang berasil mempopulerkan genre puisi rubayyat yang pada masanya dianggap syair-syair picisan. Jika merujuk novel sejarah tentang Khayam yang ditulis Amin Maalouf (sudah diterjemahkan oleh penerbit Serambi), di situ Khayam seperti Abu Nawas, seorang cendekiawan dan penyair yang free thinker, senang minum anggur, dan menjalin kisah asmara nan menggelora dengan –kali ini normal– seorang perempuan di luar pernikahan.
[sumber]
Kita semua tahu kalo kedua tokoh ini seringkali nongol dalam cerita-cerita sufisme, cerita mengenai kebijaksanaan yang dibalut dengan bumbu kelucuan dan kekonyolan. Namun, siapa yang tau tentang sejarah dan kisah hidup mereka?
Saya pun menyadur dan menyunting penjelasan dari Zen RS yang dipaparkan di dalam thread tersebut, sekedar menyelamatkan potongan sejarah di belantara teks dan biarkan mesin pencari yang menemukan artikel ini. :)
Nashrudin Hoja
Nashrudin Hoja adalah legenda dari masa kejayaan Islam pada periode abad ke-13. Legendanya tersebar dari mulai Turki, Persia, sampai ke pecahan negara-negara Soviet yang warganya banyak menganut Islam, seperti Tajikistan atau Kazakhstan.Ada banyak versi tentang asal kelahiran Nashrudin. Tapi semua versi rata-rata memang mengiyakan kalau ia hidup di abad ke-13. Sumber tertua tentang kehidupan Nashrudin ini termuat dalam buku terbitan tahun 1480 yang berjudul Saltukname.
Dalam buku itu disebutkan kalau Nashrudin di Sivrihisar, salah satu kawasan di Turki, pada 1208. Dari situ ia berkelana ke banyak tempat sampai akhirnya ia wafat pada 1284. Ada yang menyebutkan ia wafat di Konya, kota penting dalam tradisi sufisme dan mistisme Islam, karena di sanalah Jalaluddin Rumi membangun dan mendirikan tarikat Maulawiyah, yang terkenal dengan tarian sama’-nya yang berputar-putar (dengan kedua tangan merentang ke samping, satu telapak tangan menghadap ke atas, satu telapak tengan menghadap ke bawah).
Hoja yang ada di belakang nama Nashrudin sendiri kurang lebih berarti teacher atau scholar.
Sedemikian populernya karakter Nashrudin, sampai-sampai di Turki pada setiap bulan Juli digelar “International Nashrudin Hoja Festival”. Pada 1996-1997, UNESCO pernah mendeklarasikan tahun itu sebagai “International Nasruddin Year”.
Kisah-kisah Nashrudin yang kita baca dan kita dengar kemungkinan diambil dari kompilasi kisah-kisah yang dikumpulkan penulis Afghanistan, Idris Shah, yang sempat menerbitkan tiga volume buku tentang kisah-kisahnya.
Paulo Coelho, dari wawancaranya di New York Book Review beberapa tahun lalu, menyebut Nashrudin sebagai “Si Bijak dari Timur”.
Bagi kalangan Islam, terutama mereka yang aktif sebagai penghayat sufisme dalam pelbagai tarekat, kisah-kisah Nashrudin sering digunakan sebagai alegori dalam pengajaran-pengajaran sufisme. Salah satu ciri dari pengajaran sufisme memang terletak pada –selain menekankan pada laku alias praktik– penyampaian-penyampaian nilai-nilai agama melalui kisah, anekdot, alegori, fabel dan yang sejenisnya, ketimbang menggunakan teori-teori Al-Falasifa yang dikembangkan para failasuf.
Abu Nawas
Riwayat Abu Nawas ini jauh lebih seru daripada Nashrudin.Yang mengherankan, kenapa Abu Nawas dikesankan sebagai seorang yang cenderung konyol, orang bijak yang senang bermain-main atau memain-mainkan nasehat, atau guru sufi yang “sangat saleh” atau yang sejenisnya. Lebih dari sekadar itu, ia adalah seorang pemberontak pada masanya, mungkin seperti Marquis de Sade pada era Napoleon yang bengalnya ga ketulungan (kata “sado” –yang berarti “sadis”– dalam frase sado-masokis diambil dari namanya).
Abu Nawas memang bisa ditemukan dalam salah satu versi cerita “1001 Malam”. Perlu diingat, kisah 1001 Malam itu ditulis tidak sekali jadi, bahkan plot awalnya dipercaya sudah muncul sejak masa pra-Islam. Selanjutnya, kisah itu berkembang sedemikian rupa, di banyak wilayah, dengan melibatkan banyak penulis dan pujangga, dengan versi yang juga beragam. Nah, Abu Nawas masuk dalam salah satu versi itu.
Tapi menganggap Abu Nawas sebagai tokoh fiksi jelas juga keliru. Abu Nawas adalah sosok historis, benar-benar ada, pernah hidup. Ia diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-8, antara tahun 740 sampai 760-an, kira-kira seabad setelah wafatnya Muhammad SAW.
Ayahnya anggota tentara Marwan II, angkatan perang terakhir Umayah, berdarah Arab, sementara ibunya berasal dari Persia. Arab dan Persia merupakan dua kebudayaan besar yang punya tradisi susastra yang kuat dan panjang, sehingga –tidak bisa tidak– Tuhan pun harus menurunkan Al Qur’an dengan capaian nilai sastra yang adiluhung, sebab jika tidak, Al Qur’an akan dengan mudah dilecehkan sebagai tak lebih dari syair picisan.
Dalam situasi itulah Abu Nawas tumbuh dengan minat yang besar dalam bidang bahasa dan sastra. Ketika menetap di Baghdad, ia sudah matang sebagai penyair dan cendekiawan. Kisah-kisah di mana Abu Nawas yang sering berdialog atau ngerjain sultan, kemungkinan terjad di Baghdad ini, karena ia dipercaya memang akrab dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, atau bahkan dianggap sebagai penyair kesayangan Khalifah.
Sutardji Calzoum Bachri yang dulu demen mabok pas baca puisi, bisa dibilang ndak ada apa-apanya dibandingkan dengan Abu Nawas. Abu Nawas dikenal sebagai penyair yang senang mabok, pesta-pora dengan anggur dan khamr.
Salah satu kisah legendaris menyebut Abu Nawas pernah kedapatan tepar di jalan raya tepat saat Khalifah lewat bersama salah satu istrinya. Ini membuat Khalifah malu bukan kepalang karena penyair kesayangannya bertingkah gila-gilaan macam itu. Biar bagaimana pun, pada saat itu, juga hingga sekarang, khamr memang dilarang dalam standar kode hukum Islam.
Nah, di situ lah salah satu lapis kehidupan Abu Nawas yang tak banyak diketahui orang. Kehidupan Abu Nawas dan puisi-puisinya penuh dengan perayaan hidup yang untuk masanya bisa dianggap hedonis. Ia senang mabuk-mabukan. Bukan hanya itu, ia juga salah seorang yang dianggap menganjurkan perayaan seksual, termasuk hubungan sejenis kelamin.
Ada banyak riwayat yang mengisahkan kisah cinta Abu Nawas dengan beberapa anak lelaki. Semua itu banyak ditemukan dalam puisi-puisinya. Dalam buku puisi Perfumed Garden karangannya, mudah sekali ditemukan nuansa-nuansa yang menggambarkan hubungan seksual, termasuk hubungan sejenis.
Dari esai Javad Nurbhaks di jurnal Kalam, mungkin Abu Nawas adalah penyair Arab pertama yang sudah menyebut masturbasi dalam puisi-puisinya. Tapi ini pasti satu tradisi yang sudah panjang, karena bahkan Yesus dari Nazareth pun minum anggur pada saat perjamuan terakhir dan anggur (bukan tradisi penyimpangan seksualnya) juga menjadi salah satu komponen penting dalam sejumlah ritual ibadah umat Nasrani.
Tidak mengherankan, saat rezim berganti, ia pun akhirnya mengalami pengasingan. Bukan hanya Khalifah yang baru tidak senang padanya, tapi saudaranya juga ada yang jengah dengan keliaran hidup seorang Abu Nawas.
Khamr dan hubungan intim sejenis sebenarnya bukan tema yang asing. Sudah biasa dalam tradisi sufi, anggur menjadi bagian tak terpisahkan. Anggur dianggap sebagai alegori dari kenikmatan penyatuan dengan yang serba surgawi. Jalaluddin Rumi itu senang sekali dengan anggur. Anggur bertaburan dalam puisi panjangnya yang dahsyat dan terkenal itu, Al-Mastnawi
Sudah sangat biasa pula para sufi luntang-lantung dengan murid-murid laki-lakinya. Rumi lagi-lagi jadi kisah paling ilustratif tentang ini. Hubungannya dengan tiga guru utamanya, terutama guru pertamanya yaitu Syams dari Tabriz, sangatlah intim. Sampai-sampai, saat Syams menghilang dari Konya, Rumi benar-benar patah hati, kerjaannya cuma nyanyi-nyanyi dan menari-nari di jalanan Konya. Ia ndak mau ngajar murid-muridnya yang lain. Saat Syams kembali, pulihlah normalistas kehidupan Rumi. Saat Rumi sedang mengerjakan karya agung Al-Matsnawi, Rumi saat itu sudah ditinggal Syams kembali berkelana dan “berguru” pada Hisyamuddin. Saat Hisaymuddin kembali ke kampungnya selama beberapa waktu, Rumi tiba-tiba jadi stuck dan ndak bisa menulis Al-Mastnawi lagi.
** Ini hanya seperti mengulang kisah Musa dan Harun yang –dalam sirah Islam– dianggap selalu runtang-runtung bareng atawa kisah Ashabul Kahfi tentang para pemuda saleh yang kompak dan runtuang-runtung bareng sampai-sampai juga kompak melarikan diri ke dalam gua utk menghindari penguasa lalim, lalu ditidurkan oleh Tuhan selama hampir satu abad. Kira-kira seperti hubungan antara Socrates dan Plato. Hihihihi…
Salah satu penyair Arab yang terpengaruhi oleh Abu Nawas adalah Omar Khayam, yang berasil mempopulerkan genre puisi rubayyat yang pada masanya dianggap syair-syair picisan. Jika merujuk novel sejarah tentang Khayam yang ditulis Amin Maalouf (sudah diterjemahkan oleh penerbit Serambi), di situ Khayam seperti Abu Nawas, seorang cendekiawan dan penyair yang free thinker, senang minum anggur, dan menjalin kisah asmara nan menggelora dengan –kali ini normal– seorang perempuan di luar pernikahan.
[sumber]
intinya? nyata atau fiksi?
ReplyDelete