Ajang pencarian bakat dan rating televisi




Belakangan layar kaca televisi kita dihiasi dengan berbagai acara ajang pencarian bakat.  Hampir di semua stasiun televisi memiliki acara serupa. Dari beberapa tahun yang lalu kita telah menyaksikan Akademi Fantasi Indosiar, Indonesian Idol (RCTI), Dangdut mania (TPI),  Mama Mia Show (Indosiar), Cabe Rawit (TPI), Idola Cilik (RCTI), dan lainnya. Bahkan beberapa acara tersebut dilakukan secara berulang-ulang layaknya konsep pendidikan di sekolah, ketika satu tingkat lulus maka akan ada lagi adik-adik tingkat yang akan masuk. Seperti itulah wajah televisi kita akan dihiasi terus menerus dengan program acara yang sama hanya berbeda finalis dan angkatannya saja hingga akhirnya pemirsa bosan barulah tayangan tersebut dihentikan.



Jika beberapa tahun lalu pencarian bakat terfokus pada bakat menyanyi, maka sekarang ini ‘kreatifitas’ media massa mulai ‘beraksi’. Acara – acara itu dimodifikasi sehingga tidak saja terfokus pada bakat menyanyi, tetapi juga pada semua bakat apapun yang dipunyai masyarakat Indonesia. Sebut saja Indonesia Mencari Bakat (trans TV), Indonesia’s Got Talent (Indosiar), Suara Indonesia (Trans TV), Voice of Indonesia (Indosiar), dan lain-lain.  Pengemasan program yang dibuat eksklusif, audisi yang diadakan di kota-kota besar, serta total hadiah ratusan juta rupiah plus kontrak eksklusif dengan stasiun Televisi membuat banyak orang tergiur. Ajang ini seolah menawarkan ‘ketenaran instan’ kepada masyarakat. Parahnya lagi banyak orang yang memang ingin meraih ‘ketenaran instan’ ini. Hanya dengan bermodalkan coba-coba, kemampuan pas-pasan, serta dengan alasan mengadu nasib ribuan orang mendaftarkan diri mengikuti audisi pencarian bakat ini dengan tujuan ketenaran dan sukses.



Fenomena ini seakan mendominasi wajah Indonesia saat ini. Padahal seharusnya kita perlu lebih jeli melihat apa yang sebenarnya yang diinginkan media massa dengan ‘topeng’ pencarian bakat ini.  Berdasarkan survey yang dilakukan oleh nielsen rata-rata penonton program mencari bakat di bulan  (1-27 September) lebih banyak 72% (1,5 juta orang usia 5 tahun ke atas) daripada perolehan di awal tahun ini yang hanya berjumlah 886 ribu orang. Dengan kata lain, perolehan rating program mencari bakat di usia 5 tahun ke atas naik dari rata-rata 1,8 menjadi 3,1. (http://www.agbnielsen.net ; newsletter #9 September 2010). Hal ini menjadikan sebuah pertanyaan, apakah ajang pencarian bakat murni bertujuan untuk mencari bakat-bakat terbaik anak-anak bangsa ataukah hanya perlombaan rating semata?.

Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia kalau stasiun-stasiun televisi swasta saling berlomba mengungguli satu sama lain. Setiap stasiun televisi pasti akan berusaha keras menayangkan aneka informasi dan hiburan yang dapat merebut hati masyarakat Indonesia. Sudah menjadi hal yang wajar apabila acara di salah satu stasiun sangat persis konsepnya dengan acara di stasiun lain. Karena untuk merebut hati pemirsanya sudah tidak peduli lagi  salah dan benarnya. Segala cara dilakukan mulai dari menjiplak konsep, ide satu sama lain.

Akhirnya layar kaca menjadi konsep yang monoton . Contohnya seperti disebutkan di atas yaitu ajang pencarian bakat. Saat sebuah stasiun sukses dengan acara pencarian bakatnya, maka stasiun televisi lain sudah pasti akan mengikuti jejak itu, karena tergiur oleh rating yang akan diperoleh. Untuk memperoleh rating itu maka sudah pasti sasarannya adalah masyarakat. Sayangnya masyarakat kita sekarang ini masih banyak yang belum menyadari bahwa sebenarnya mereka dijadikan media sebagai alat pengeruk keuntungan. Masyarakat dibombardir dengan acara yang melankolis, mendramatisir keadaan, yang intinya tidak memberi manfaat sama sekali. Para peserta ajang pencarian bakat seakan dieksploitasi secara halus dan rapi oleh media yang memang ingin meraih keuntungan dari tindakan mereka tersebut.

Bekerja sebgai industri media memang agak berat, karena penontonnya tidak dapat diprediksi sebelumnya.  Untuk membuat suatu program acara yang baru merupakan hal yang “gambling” apakah acara tersebut sukses atau tidak. Mungkin salah satu ‘cara aman’ adalah dengan saling contek mencontek. Ketika suatu acara sukses, kenapa tidak kita ikut-ikutan membuat acara yang serupa?. Namun perlu diperhatikan para bintang yang ada di ajang pencarian bakat. Apakah mereka hanya dijadikan sebagai sebuah komoditas yang dibentuk menjadi sebuah “brand” tersendiri lengkap dengan “positioning” yang khusus pula demi perolehan rating media massa. Karena hal ini tidak terlepas dari bisnis media massa sebagai sebuah industri. Dan perlu diingat juga karakter prodesen pesan televisi selain teamwork dan interdependensi juga ada kepentingan di dalamnya, salah satunya kepentingan ekonomi yang juga akan mengarah kepada perolehan rating itu sendiri.

Perlu kita lihat ada pergeseran paradigma atas “text” media (Hartley, 2008)‏ :
1. Pre Modern (abad pertengahan): sumber makna dari sebuah teks adalah dari producernya yang tak bisa diperdebatkan (bible text)‏
2. Era Modern (sejak revolusi industri): sumber makna adalah teks itu sendiri (empirisme/realisme)‏
3. Era Post-modern (pasca Perang Dunia ke II): sumber makna sebuah teks adalah konsumennya (the death of the author)‏
4. TV berada dalam taraf ketiga, dimana audience adalah segalanya (melalui rating dan penjualan iklan)‏ .(sumber: slide perkuliahan Ilmu Komunikasi UNAIR)



Dari penjabaran di atas terlihat bahwa audience adalah sumber segalanya bagi industri televisi. Dengan ajang pencarian bakatnya, masyarakat seakan disuruh berpikir dengan bertanya "how" ketimbang "why" sehingga masyarakat tidak kritis. Dengan maraknya ajang pencarian bakat walau berbeda-beda, kenyataannya berbagai acara tersebut memiliki struktur yang sama, yaitu bertujuan untuk “mendongkrak” rating televisi. Sudah saatnya masyarakat menjadi awas dan teliti terhadap segala bentuk kesenangan atau mimpi-mimpi indah yang ujung-ujungnya hanya akan menutupi akal sehat kita sebagai audience. Selain itu juga perlu diperhatikan kualitas dan unsur edukasi dari suatu program acara. Apakah acara tersebut layak untuk ditonton dan diikuti atau tidak. Namun kebanyakan akibat dari sebuah ajang lomba yang terlalu dipaksakan menjadi komoditi tontonan. Kualitas dan unsur edukasi jadi nomor sekian. Faktanya lagi, dalam survei AC Nielsen, IMB bertengger di posisi tertinggi sebagai program talent show terpopuler sepanjang pertelevisian di Indonesia. Akhirnya generasi bangsa akan dirangsang untuk mendapatkan tujuannya dengan cara-cara instan tanpa memperdulikan proses dan usaha keras. Dengan gemerlap dan kemewahan yang ditawarkan berbagai ajang pencarian bakat mampu menyihir banyak orang yang kenyataannya dijadikan alat peras untuk mendapatkan keuntungan besar dan mendongkrak rating semata.


No comments:

Post a Comment