“Wa inna lakum fi l-an`âmi la ibra(tan),
dan sesungguhnya pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi kalian.” (an Nahl : 66)
Ayat-ayat al Qur’an hanya diperuntukkan bagi orang-orang berakal, dan mau menggunakan nalarnya. Tak terkecuali surat an Nahl ayat 66 di atas. Akhir dari penggalan ayat ini tercantum pada ayat selanjutnya, ayat 67 yang ditutup dengan, “Inna fî dzâlika la âyatan li qaumi y-ya`qilun, sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang berakal.” Abu Muhammad al Husain bin Mas`ud atau yang lebih dikenal dengan Imam al Baghawi dalam kita tafsirnya, Ma`alimu t-Tanzil, menerangkan, “Wa inna lakum fi l-an`ami la ibrah, yaitu bukti yang bisa kalian jadikan pelajaran.” Selanjutnya, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan dalam kitabnya, Tafsiru l-Bahri l-Muhith, menjelaskan, pembuka ayat “Wa inna lakum fi l-an`âmi la ibra(tan)” sesuai dengan penutupan firman-Nya, “Ya`qilun.” Karena tidak ada yang bisa mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal sebagaimana firman-Nya, “Inna fî dzâlika la ibratan li uli l-albâb.”
Allah berfirman, “Wa inna lakum fi l-an`âmi la ibra(tan), dan sesungguhnya pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi kalian.” (an Nahl : 66). Ibrah. Ya, pelajaran. Dengan merenungi binatang ternak, kita akan mendapatkan pelajaran. Pelajaran, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al Qurthubi, yang menunjukkan ke-Mahakuasaan, keesaan dan keagungan Allah. Ibnu Katsir melengkapinya dengan, “La ayatan wa dalalatan `ala qudrati khaliqiha wa hikmatihi wa luthfihi wa rahmatihi, benar-benar ada tanda kekuasaan dan bukti akan kekuasaan, kebijaksanaan, kelembutan dan kasih sayang Penciptanya.” Ini akan bisa dirasakan oleh orang berakal yang peka dan mampu mengeja setiap pelajaran dalam episode hidupnya di alam dunia, termasuk interaksinya dengan binatang ternak yang ada di sekelilingnya.
Ayat yang diabadikan oleh Allah dalam al Qur’an ini tentu sangat penting bagi manusia. Kisah Qabil menjadi salah satu buktinya. Dalam surat al Ma’idah : 27-31, Allah mengisahkan dua anak adam, yaitu Qabil dan Habil. Endingnya, Qabil membunuh saudaranya, Habil. Malangnya, Qabil tidak bisa mengetahui bagaimana cara mengubur jenazah Habil. Ia membawa kesana-kemari di atas punggungnya hingga jenazah Habil membau, sampai-sampai burung-burung pemakan bangkai bersiap dan menanti dimanakah Qabil akan membuang jenazah saudaranya yang selalu diletakkan di atas punggungnya selama –sebagaimana pendapat Ibnu Abbas yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsiru l-Qur’ani l-`Azhim-nya— setahun lamanya. Ia tidak tahu-menahu apa yang harus ia perbuat dengan jenazah itu, dan kemudian ia meletakkannya di atas bumi. Tak lama berselang, Allah mengirimkan burung gagak yang menguburkan temannya yang mati. Melihatnya, Qabil berucap penuh sesal, “Aa`jiztu an akûna mitsla hadza l-ghurâb fa uwâriya sauata akhî, aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” setelah itu, Qabil menguburkan Habil sebagaimana burung gagak itu mengubur temannya. Qabil mendapatkan pelajaran terpenting itu dari seekor burung gagak. Ya, dari seekor hewan. Dari makhluk yang tidak dikaruniai akal sebagaimana manusia. Tetapi itulah uniknya. Hewan justru memberikan banyak pelajaran berharga kepada manusia. Persis sebagaimana tersebut dalam ayat di atas. “Wa inna lakum fi l-an`ami la ibra(tan)”, dan sesungguhnya pada binatang ternak betul-betul terdapat pelajaran bagi kalian.” (an Nahl : 66). Sungguh, Mahabenar Allah atas semua firman-Nya.
Ada satu kisah menarik yang pernah dipaparkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah. Katanya, “Dulu, pernah ada seorang lelaki –semoga Allah memberinya hidayah—mempermainkan seekor semut kecil. Ia meletakkan kaki belalang sebagai umpannya. Semut kecil itu tak mampu membawanya. Lalu ia memanggil teman-temannya, tetapi kaki belalang itu tidak ada karena diangkat oleh lelaki itu. Semut kecil itupun kebingungan, dan ia berusaha meyakinkan teman-temannya, dan membuktikan bahwa ia tidak bohong. Temannya seolah mendiamkan. Dan kembali tanpa menggubris semut malang ini. Ketika semut kecil ini sendirian, si lelaki tadi mengembalikan kaki belalang yang tadi diangkatnya. Si semut terkejut, dan hatinya girang karena kaki belalang itu benar-benar nyata dan ia tidak sedang bermimpi. Ia kembali ingin mengangkat sendiri, dan membuktikan kepada teman-temannya. Karena tidak kuat, ia memanggil teman-temannya lagi. Malang. Ketika teman-temannya datang, lagi-lagi kaki belalang diangkat. Mereka mencari kesana-kemari tanpa melihat sesuatu apapun. Yang lebih terpukul, tentu semut kecil yang dianggap sebagai pendusta oleh teman-temannya. Teman-temannya pun kembali ke tempat tinggal mereka dengan hati penuh kecewa. Semut kecil itu bersedih. Di tengah kesedihannya, kaki belalang itu dikembalikan lagi. Kali ini, ia berusaha mengangkatnya sendiri. Dengan sekuat tenaga, ia kerahkan semuanya. Tapi sia-sia. Ia tidak mampu, bahkan menggeserpun tidak sanggup apalagi mengangkat sendiri. Dengan terpaksa, ia memanggil teman-temannya untuk ketiga kalinya. Teman-temannya pun datang memenuhi panggilannya. Tetapi lagi-lagi, ketika sampai tempat yang dimaksud, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Kosong. Tidak ada ‘mangsa’ yang dijadikan bekal makanan mereka karena kaki itu lagi-lagi diangkat. Akhirnya, mereka mengadili semut kecil yang dianggap sebagai pendusta ini. Tetapi semut kecil ini bermohon belas kasihan, dan meyakinkan bahwa ia tidak pernah berbohong, bahkan niatan hati untuk itupun tidak pernah ada. Tetapi mau bagaimana lagi? Ia betul-betul tidak bisa menjawab teman-temannya. Akhirnya, ia merelakan teman-temannya menghukum dirinya. Masing-masing semut menarik kaki semut kecil yang tak berdosa ini. Satu per satu kakinya terputus. Setelah itu, mereka meninggalkannya sendiri.” Ah, sedih mengingat kisah ini. Betapa jujurnya seekor semut dibandingkan manusia. Sekalipun dianggap bersalah, ia tetap yakin bahwa ia JUJUR, tidak bohong. Tetapi konsekwensi dari kejujuran harus berbayarkan kaki buntung sana-sini. Dari semut, kita banyak mendapatkan pelajaran. Kesetiakawanan, kebersamaan, tolong menolong dalam suka dan duka, pantang menyerah, dan juga kejujuran.
Apa makna ibrah yang tercantum dalam an Nahl ayat 31 di atas? Jawabannya disebutkan oleh Imam al Qurthubi dalam al Jami’ li ahkami l-Qur’an. Katanya, “Wal `ibratu ashluhâ tamtsilu s-syai’ bi s-syai’ li tu`rafa haqîqatuhu min thariqi l-musyâkalah, asalnya ibrah adalah mentamsilkan sesuatu dengan sesuatu yang lain agar hakikatnya bisa diketahui berdasarkan penyerupaan.” Dalam tafsir Fî Zhilâli l-Qur’an, Sayyid Quth pun menjelaskan, “Fîhâ `ibratun li man yanzhuru ilaihâ bi l-qalbi l-maftûhi wa l-hissi l-bashîr, wa yatadabbaru mâ warâ’ahâ min hikmatin wa min taqdirin, dalam binatang ternak tersebut ada ibrah (pelajaran) bagi orang yang melihatnya dengan hati yang terbuka dan indra yang berbashirah, dan bagi orang yang merenungi rahasia disebaliknya berupa hikmah dan takdir.”
Tulisan ini hanyalah berupa tamsil dan pelajaran dari sekelumit hewan yang bisa kita jadikan pelajaran. Mudah-mudahan kita mendapatkan manfaat sebagaimana bermanfaatnya informasi yang diberikan burung Hudhud kepada orang yang disegani jin dan manusia pada saat itu, Nabi Sulaiman `alaihis salam. Semoga.
Hewan berbentuk manusia. Di antara manusia ada yang seperti keledai. Dia berputar-putar namun tidak mampu melangkah ke depan. Ia mencerai akherat dan menikah dengan dunia. Ia tidak tahu apa rahasia dan misi yang harus dilakukannya sebagai manusia ketika di dunia. Pekerjaannya hanya berpesta di siang hari, dan menjadi bangkai di malam hari. Makan, minum, dan bersenang-senang adalah menu hariannya. Tidak ada ibadah. Tidak ada munajat dalam hidupnya. Ia berada dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Seolah menaiki langit, ada sesak dada yang menghimpitnya tetapi ia tidak tahu bagaimana meraih hidayah-Nya. Mahasuci Allah yang telah meninggikan derajat hewan ternak di atas mereka. Mereka tidak berguna, bahkan bagi dirinya sendiri. “In hum illâ ka l-an`ami bal hum azhallu sabîlâ, mereka mirip dengan binatang ternak bahkan mereka lebih sesat.” (al Furqan : 44);
Ulat sutra. Di antara manusia ada yang seperti ulat sutra. Ia mati di tengah-tengah sulamannya. Antara dirinya dan syahwatnya saling bercengkrama. Antara dirinya dan setannya ada hubungan yang sangat erat. Mereka membunuh diri mereka dengan tangan sendiri. Mereka rela berjalan menuju api neraka dengan langkah yang pasti. Persis sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta`ala, “Yuhlikûna anfusahum, mereka membinasakan diri mereka sendiri.” (at Taubah : 42);
Burung onta. Di antara manusia ada yang seperti burung onta. Ia menenggelamkan kepala ke dalam pasir, dan mengira tidak ada seorangpun yang mengetahui kefasikannya dan mencium kejahatannya. Ia mengaku tidak membunuh, sementara ia berlumuran darah. Ia tidak mengaku mencuri tetapi sidik jarinya terekam di tempat-tempat pencurian. Ia memakai baju takwa tetapi minuman keras menetes dari mulutnya. Ia tampakkan keshalihan amalnya sementara hatinya busuk dan tak merasakan nikmatnya munajat pun. Dalam keramaian, ia perlihatkan amal baiknya, sementara ketika sendirian ia melanggar larangan-Nya, tanpa malu dan bertaubat kepada-Nya padahal Dia lebih dekat daripada tali sandalnya. Orang seperti ini digambarkan dalam al Qur’an sebagai orang-orang yang, “Yukhadi`unallâha wa l-ladzina âmanû wa mâ yakhda`ûna illâ anfusahum wa mâ yasy`urûn, menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal mereka menipu diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari.” (al Baqarah : 9);
Bunglon. Di antara manusia juga ada yang seperti bunglon. Mereka bisa masuk ke dalam majlis orang-orang shalih. Mereka khusyu’ mendengarkan petuah dan nasehat. Namun mereka juga sangat senang bergabung dalam majlis para pelaku maksiat. Mereka riang gembira mendengarkan musik, dan mengepulkan asap rokok. Hati mereka tidak akan dapat bergabung dengan orang-orang shaleh karena jiwa mereka penuh dengan kepura-puraan. “Mudzabdzabîna baina dzâlika lâ ilâ hâula’I wa lâ ilâ hâula’I, mereka dalam keadaan ragu-ragu di antara yang demikian (iman dan kafir). Tidak masuk dalam golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak pula kepada golongan itu (orang-orang kafir).” (an Nisa`: 143);
Kelelawar. Di antara manusia ada yang seperti kelelawar. Mereka merindukan kegelapan dan benci dengan cahaya. Mereka merasa nikmat dengan maksiat dan tersiksa dengan ketaatan. Kesadaran mereka terbalik. Yang baik disalahkan, dan salah dibernarkan karena fitrah mereka sudah berubah. Oleh karena itu, manusia seperti ini digambarkan, “Wa idzâ dzukirallâhu wahdahu s-syma’azzat qulûbu l-ladzîna lâ yu`minûna bi l-âkhirah, apabila nama Allah saja yang disebut, hati orang-orang yang tidak beriman akan kehidupan akherat merasa kesal; apabila nama yang selain Allah disebut, mereka langsung merasa senang.” (az Zumar : 45);
Semut. Meskipun tubuhnya kecil dan lemah, ia mampu memikul beberapa kebutuhan musim dingin pada musim panas. Dia rela tidak merasakan nikmatnya musim panas untuk mengumpulkan kebutuhan musim dinginnya. Ia tahu sakitnya rasa lapar di musim dingin dan semut sadar bahwa pada musim dingin banyak orang yang mati.
Saudaraku..,ketahuilah bahwa dunia adalah musim panas dan akherat adalah musim dingin. Silahkan berlelah-letih dalam beribadah untuk kehidupan abadi setelah kematian nanti. Karena di situlah kebahagiaan hakiki. Di sanalah semua kenikmatan surgawi tengah menanti. Ia hanya diperuntukkan bagi orang yang berbekal sebaik-baiknya selama hidup di dunia. Hanya saja sayang, sedikit sekali orang yang tahu;
Keledai. Ia tahu jalan menuju rumahnya walau ia berjalan dalam kegelapan. Ketika berada di sebuah wilayah yang asing baginya, ia dapat pulang ke rumahnya tanpa penuntun. Ia juga mampu membedakan antara suara perintah untuk berhenti dan suara perintah untuk berjalan. Wahai orang yang tersesat di jalan menuju surga, wahai orang yang tidak mampu membedakan antara suara yang mengajak ke surga dan suara yang menjerumuskan ke dalam neraka. Anda tidak mampu mencapai seperti keledai yang tahu tempat kembalinya. Ketika paham, anda bersedih; ketika sudah dekat dengan kuburan, anda gemetar; ketika ajal sudah dekat, anda masih berangan-angan. Kasihan dan malang nian dirimu wahai saudaraku…, karena ternyata engkau tidak lebih baik daripada keledai itu…;
Julalah. Julalah adalah seluruh binatang melata yang dagingnya boleh dimakan. Jika ia memakan barang najis, maka dagingnya menjadi tidak baik, dan para fuqaha’ mengharamkan dagingnya sampai ia ditahan selama 40 hari dan diberi makananan yang halal dan baik. Setelah itu, maka daging binatang itu halal untuk dimakan.
Betapa banyak manusia yang tenggelam dalam keharaman, hingga kepribadiannya rusak dan kotor. Manusia seperti ini lebih pantas untuk dikarantinakan yang di dalamnya mereka mendapatkan nasehat-nasehat baik dan diajarkan melakukan perbuatan terpuji. Mereka mensucikan jiwa dan memperbaiki kepribadiannya di dalam karantina. Selain itu, dalam masa karantina, ia memperbanyak tobat, istighfar, amal-amal shaleh, melakukan kebaikan-kebaikan yang menghapuskan dosa-dosa, agar tidak ada lagi dosa yang melekat dalam dirinya kecuali sudah terhapuskan dengan itu semua. Dengan demikian mereka menjadi pantas masuk surga. Surga yang hanya dimasuki oleh, “al ladzîna tatawaffâhumu l-malâikatu thayyibîn, orang-orang yang diwafatkan oleh para Malaikat dalam keadaan baik.” (an Nahl : 32). Para Malaikat pun menyambut mereka dengan mengatakan, “Salâmun `alaikum thibtum fadkhulûha khâlidîn, kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian. Berbahagialah dan masuklah ke dalam surga ini selamanya.” (az Zumar : 73);
Buaya. Ketika seekor buaya selesai dari makannya, ia membuka mulutnya lebar-lebar agar burung-burung kecil memungut sisa makanan di antara gigi-giginya. Ia takut kuman-kuman menggerogoti giginya. Sebagian manusia digerogoti oleh kuman sejak dulu, dan ia tidak mempersilahkan orang lain untuk mencabut sumber penyakitnya. Dia tidak seperti buaya, tidak pula seperti burung kecil.
Saudaraku, jika anda tidak berbuat baik, maka berharaplah akan kebaikan. Bila anda tidak menyampaikan khutbah, maka hadiri dan dengarkanlah. Jika anda bukan seorang guru, maka belajarlah. Jika anda tidak mampu memperbaiki orang lain, maka janganlah mencegah orang lain untuk memperbaiki diri anda;
Burung merpati. Jika pemilik merpati melepaskannya untuk mengantar surat, ia berani menantang pancaran sinar matahari. Ia menembus jarak siang dan malam berhadapan dengan terpaan angin, hujan, petir dan kilat. Ia terbang tinggi karena menghindari bidikan para pemburu. Ia sangat berhati-hati ketika turun untuk mematuk biji gandum yang bertebaran karena khawatir terjebak oleh jaring yang akan menghalangi perjalanannya atau mematahkan salah satu sayapnya, hingga ia tidak bisa mengantarkan surat. Ketika sudah mengantarkan surat, ia kepakkan kedua sayapanya di menara untuk memakan apa saja yang ada.
Wahai pembawa risalah Allah, apa saja yang telah kalian lakukan? Berapa jauh jarak yang telah kalian tempuh? Perangkap apa yang menghalangi langkah-langkah kalian? Celakalah kalian. Kalian berharap surga tetapi melupakan usaha untuk mendapatkannya. Padahal sedetika di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya. Lalu mengapa kalian ragu?
Jika Anda berbuat baik kepada kucing satu kali saja, maka dia akan manja setiap kali melihat anda; ia akan mengusapkan badannya. Setiap sel yang ada pada tubuh anda adalah kebaikan dari Allah. Setiap rambut yang ada dalam tubuh anda adalah nikmat dari Allah. Namun mengapa ketika Allah telah mencurahkan cinta-Nya kepadamu, anda malah membenci-Nya? Ketika Allah mendekatkanmu kepada-Nya, kenapa anda malah mencintai yang lain? Padahal Allah tidak membutuhkan balasan apapun dari apa yang telah Dia berikan kepadamu. Tidakkah anda bisa belajar dari berbagai binatang, wahai orang yang memiliki hati? Jangan sekali-kali anda menyombongkan kemampuan yang ada pada dirimu karena Qabil belajar cara mengubur saudaranya dari burung gagak, dan Nabi Sulaiman menerima kabar tentang ratu Bilqis dari burung Hudhud. Afala ta`qilun..?
No comments:
Post a Comment